“Ada pameo bijak di kalangan ekonom dunia, yakni jika ingin melihat baik dan tidaknya perekonomian suatu Negara dan wilayah, maka perhatikanlah pelabuhan lautnya, dan hitung berapa banyak kegiatan ekspor yang dilakukan setiap harinya,”
Aceh adalah wilayah yang memiliki sedikitnya enam pelabuhan laut yang besar serta dapat digunakan sebagai jalur ekspor ke berbagai mancanegara, diantaranya terdapat di Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kota Sabang.
Dapat dikatakan, Aceh memiliki infrastruktur pelabuhan laut paling banyak jika dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Selain didukung pelabuhan laut, negeri serambi mekkah ini juga memiliki akses pelabuhan udara yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah pelabuhan laut, sebut saja misalnya Aceh memiliki Bandara Sultan Iskandar Muda di Aceh Besar, Bandara Rembele di Bener Meriah, Bandara Malikussaleh di Kota Lhokseumawe, Bandara Cut Nyak Dhien di Kabupaten Nagan Raya, dan Bandara Alas Leuser Kutacane di Aceh Tenggara.
Sangat disayangkan memang, dengan dukungan pelabuhan laut, dan bandar udara terbanyak, Aceh belum berhasil dalam menggenjot dan meningkatkan nilai ekspornya.
Sebenarnya dengan dukungan pelabuhan laut dan bandara udara terlengkap, sebenarnya tidak ada alasan bagi Aceh dalam pengembangan ekspor berbagai produk unggulannya. Namun, pertanyaanya adalah mengapa nilai ekspor Aceh, khususnya komoditi non migas belum berkontribusi besar dalam produk domestic regional bruto (PDRB) Aceh.
Kajian yang pernah dilakukan oleh Fakultas Ekonomi (FE) Unsyiah menyebutkan, masalah mendasar bagi keberlangsungan ekspor Aceh adalah soal ketersediaan komoditi dalam jangka panjang, atau kontinuitas produk.
Disebutkan dalam riset tersebut, jika Aceh melaksanakan ekspor dengan kapasitas besar yang seluruh komoditas tersebut diangkut kapal berukuran 20.000 DWT (Dead Weight Tonnage), maka diperlukan waktu enam bulan lagi untuk melakukan ekspor kedua.
Hasil riset tersebut tentunya menjadi dasar penting bagi Aceh untuk memperbaiki berbagai persoalan dasar sistem pertanian, dan infrastruktur jalan tani, irigasi, dan modernisasi alat pertanian, baik untuk pra tanam ataupuan pasca tanam.
Minimnya sektor komoditi non migas Aceh, juga terlihat dari data
Badan Pusat Statistik (BPS) yang memperlihatkan dalam lima tahun terakhir, kinerja ekspor Aceh masih di dominasi oleh ekspor migas yang mencapai 97 persen dari total ekspor.
Dengan corak produksi masyarakat Aceh yang 70 persen adalah petani, tentu besar harapan kita bahwa komoditas pertanian Aceh seperti coklat, padi, palawija, hortikultura, jagung, CPO akan dihasilkan produk yang melimpah. Namun dengan jumlah persentase tersebut, dan luas lahan pertanian yang dimiliki Aceh, terdapat persoalan mendasar sehingga hasil komoditas ekspor Aceh tidak dapat mencapai nilai keekonomian.
Ekspor migas Aceh yang tahun ini diperkirakan akan selesai, maka dapat dipastikan seluruh kegiatan perekonomian Aceh dari sisi ekspor akan mengalami penurunan yang drastic, dan bahkan dapat dikatakan Aceh tidak akan ada kegiatan ekspor, jika tidak ada langkah serius dalam menyikapi masalah ini. Dari sisi produk unggulan ekspor, sebenarnya Aceh sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam skala luas, atau dengan menggunakan konsep industrial farm.
Metode pertanian Aceh yang masih konvensional, tentu akan menyulitkan dalam menjaga ketersediaan produk untuk ekspor. Dan penekanan lebih utama adalah peningkatan nilai tambah produk juga harus segera dipikirkan, sehingga wilayah ini tidak serta merta selalu ekspor bahan mentah, tanpa mendapatkan added value, atau nilai tambah dari produk yang dihasilkan tersebut.
Dengan upaya perbaikan sistem dan infrastruktur pertanian, dan pengembangan konsep budidaya pertanian, diharapkan berbagai komoditi yang dihasilkan mencapai nilai untuk dilakukan ekspor.
Peningkatan ekspor komoditi non migas Aceh harus menjadi fokus pemerintah Aceh saat ini,hal ini dimaksudkan agar perekonomian Aceh yang selama ini ditopang oleh kegiatan ekspor migas, secara perlahan dapat kita geser dengan ekspor migas, sehingga terjadi shifting sektor ekspor non migas Aceh akan lebih berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi.
Tanpa ekspor, tentu sangat sulit bagi Aceh untuk dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi mencapai level dua digit. Secara nasional ekspor Indonesia memberikan kontribusi nomor tiga atas product domestic bruto atau PDB, dan sementara di Aceh sendiri, ekspor komoditi belum memberikan dampak nyata bagi PDRB Aceh. Aceh tidak boleh lagi hanya mengandalkan government expenditure dan konsumsi sebagai penopang PDRB, peningkatan kegiatan ekspor harus di pacu sebagai stimulus bagi pertumbuhan sektor lainnya.
Beberapa langkah penting yang harus segera dilakukan saat ini, sebagai regulator Pemerintah Aceh harus dapat menyiapkan aturan dan kerangka hukum yang mempermudah pengembangan industrial farm. Investasi juga harus diarahkan ke sektor agro industri yang berorientasi ekspor.
Selain itu juga, pemerintah harus segera membentuk lembaga penjamin kredit daerah yang memberikan akses dan kemudahaan pembiayaan sektor pertanian.
Jika kebijakan tersebut dapat dijalankan, keniscayaan struktur dasar pertanian Aceh akan kuat. Dengan kokohnya pondasi sektor tersebut, maka dipastikan kontinuitas produk Aceh berkualitas ekspor akan dapat diwujudkan.