Follow Us
Beranda / Editorial / Sewindu Peringatan perdamaian Aceh : Damai bukan tujuan utama

Sewindu Peringatan perdamaian Aceh : Damai bukan tujuan utama

Reporter: H SAKY ~ BISNIS ACEH
  | Rabu, 14 Agustus 2013 23:39 WIB

Penandatangan MoU antara RI dan GAM pada 15 Agustus 2005FOTO : istPenandatangan MoU antara RI dan GAM pada 15 Agustus 2005

15 Agustus 2005 delapan tahun yang silam, di Helsinky, Finlandia, satu negara yang jaraknya ribuan kilometer sedang berlangsung sebuah proses  detik-detik penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) antara wakil Pemerintahan Republik Indonesia, dengan wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Dan sementara itu, ribuan warga Aceh memanjatkan doa dan berkumpul di Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh dan juga diseluruh Masjid di Aceh memanjatkan doa sehubungan proses yang sedang berlangsung di negara skandinavia tersebut.

Dan akhirnya, doa dan kehendak rakyat yang sangat menginginkan perdamaian Aceh, ditengah konflik puluhan tahun yang mendera negeri serambi mekkah ini terjawab, dengan disaksikan oleh Martii Ahtisari mewakil Crisis Management Initiative (CMI) yang merupakan lembaga penengah proses perundingan antara RI dan GAM, penandatanganan perjanjian damai Aceh pun dilakukan.

Gema takbir pun membahana dari seluruh corong masjid di Aceh, dan peristiwa ini menandai babak baru perjalanan Aceh dan cita-cita seluruh rakyat.

Dan besok, 15 Agustus 2013, tepat delapan tahun sudah peristiwa bersejarah yang terjadi di Helsinky Finlandia tersebut kembali akan diperingati oleh seluruh rakyat Aceh dan jajaran pemerintah Aceh.

Selama delapan tahun pejalanan damai Aceh, banyak kemajuan yang telah di capai rakyat Aceh baik dalam bidang ekonomi, politik, demokrasi dan terbentuknya suatu orde atau tatanan baru Aceh pasca damai.

Pembangunan sistem ekonomi dan politik yang dicapai oleh Aceh selama rentang delapan tahun terakhir menjadi penting untuk dicermati untuk  menilai esensi dan capaian keberhasilan proses damai itu sendiri.

Mengutip kata-kata Mao Tse Tung Semakin lama perjuangan kita maka semakin banyaklah hal yang akan kita pelajari dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dari para pendahulu kita, maka kita bisa memberikan penilaian objektif dan subjektif atas apa yang telah kita capai bersama selama delapan tahun terakhir.

Kata kunci dari damai Aceh adalah perwujudan kesejahteraan rakyat, sehingga dapat ditarik satu konklusi penting dari makna damai Aceh, yakni kesejahteraan rakyat, karenanya damai Aceh bukanlah tujuan akhir, tapi adalah sebuah instrumen atau alat untuk mencapai kesejahteraan.

Delapan tahun perdamaian Aceh, banyak kemajuan dan prestasi yang dicapai, salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat kemiskinan.

Dari data BPS, tingkat kemiskinan di Aceh pada 2004 mencapai 28,4 persen, dan pada tahun 2005 meningkat drastis menjadi 32,6 persen, sebagai dampak peristiwa tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004.

Stabilitas politik dan jaminan keamanan pasca damai Aceh mendorong terjadinya ekspansi  modal besar ke Aceh sebagai dampak kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dan juga meningkatnya pertumbuhan investasi dalam rentang waktu tersebut.

Dampak nyata dari adanya stabilitas politik dan keamanan tersebut telah secara signifikan menggerus tingkat kemiskinan dari 32,6 persen pada 2005 menjadi 26,5 persen pada 2006.

Tren penurunan angka kemiskinan sebagai buah perdamaian Aceh terus memperlihat hal yang menggembirakan, hal ini ditandai dengan capai positif pada Maret 2012 dimana tingkat kemiskinan di Aceh hanya tinggal 19,46 persen.

Namun ternyata laju penurunan angka kemiskinan selama periode tersebut belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Hal ini terlihat dari Kajian Ekonomi Regional yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) masih saja menempatkan Aceh sebagai daerah dengan rangking ke 7 di Indonesia dengan jumlah penduduk miskin terbesar.

Bagaimanapun, kita patus bersyukur bahwa capaian tersebut merupakan hikmah damai Aceh, perdamaian telah menggerakkan sistem perekonomian dan laju pertumbuhan ekonomi yang secara langsung mengurai akar dan persoalan kemiskinan di Aceh.

Namun tetap saja, capaian tersebut belum dapat memuaskan banyak pihak, terutama lapisan masyarakat paling bawah, hal ini disebabkan bahwa penurunan angka kemiskinan hanya terjadi pada level masyarakat yang berada pada garis kemiskinan, tapi tidak menyentuh masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.

Angka 19,46 persen adalah jumlah masyarakat Aceh yang miskin secara ekonomi, pendidikan dan juga akses terhadap sumber-sumber ekonomi, dan merekalah yang selama ini belum mendapatkan buah dan nikmat perdamaian Aceh itu sendiri.

Besaran Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil Migas dan dana Otsus yang diperoleh Aceh sejak 2005-2012 belum berhasil secara penuh menyelesaikan berbagai akar dan persoalan kemiskinan di Aceh.

Namun tentu, capaian penurunan tingkat kemiskinan di Aceh pada rentang waktu 2005-2012 tidak mungkin dapat di capai tanpa adanya perdamaian Aceh yang dibangun delapan tahun silam.

Dari sisi politik dan demokrasi, capaian delapan tahun perdamian Aceh juga terbilang menggembirakan, hal ini ditandai dengan berkembangnya sistem politik di tingkatan lokal dan berkembangnya partai politik lokal sebagai buah dari perdamaian Aceh sendiri.

Perhelatan Pemilukada langsung di Aceh yang telah berlangsung selama dua kali sejak 2005 telah menghasilkan pemimpin pilihan rakyat yang dipilih secara langsung dan demokratis.

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, selama delapan tahun perdamaian Aceh juga memperlihatkan angka yang menggembirakan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh pada tahun 2012 sudah mencapai angka 5,8 persen, dan Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf menjanjikan bahwa dalam rentang waktu kepemimpinannya dapat menargetkan angka pertumbuhan ekonomi hingga 7%-8%. Dan tentunya dengan target pertumbuhan ekonomi tersebut diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan hingga mencapai 14 persen denan target tingkat pengangguran hanya 7 persen.

Tentu, sewindu atau delapan tahun perdamaian Aceh yang telah dirajut ini telah  banyak capaian-capaian yang diraih, sesuatu hal yang mustahil dapat dilakukan jika tanpa sebuah damai.

Namun tetap saja semua pelaku pembangunan di Aceh harus memahami konsep bahwa perdamaian bukanlah tujuan utama, namun damai adalah suatu instrumen untuk mencapai cita-cita rakyat yakni kesejahteraan.

Damai Aceh bukanlah tujuan utama, pembentukan damai adalah sarana untuk menggapai kehendak dan keinginan rakyat untuk keluar dari kemiskinan. Untuk mencapai cita-cita tersebut, dibutuhkan stabilitas politik dan keamanan, sebagai pilar menjadi ruh perdamaian Aceh.


Komentar Anda