Sebagai daerah yang dijadikan salah satu sasaran peningkatan produksi kedelai nasional, pemerintah di beberapa kabupaten di Aceh telah berketetapan untuk menambah luas areal tanam kedelai di kabupatennya masing-masing sebagai bagian upaya pencapaian swasembada kedelai 2014. Pemerintah kabupaten bersepakat dengan keyakinan pemerintah. Jaminan peningkatan hasil panen dengan menggunakan varietas unggul seperti anjasmoro dan kipasmerah ikut pula menumbuhkan animo pemerintah kabupaten untuk meningkatkan hasil kedelai di akhir tahun ini, apalagi ditambah adanya kemungkinan stimulus pertanian kedelai pada caturwulan terakhir di dalam APBN untuk tujuh kabupaten di Aceh.
Keyakinan tersebut tidak digugat disini. Yang jelas pasar domestik di Aceh masih membutuhkan suplai kedelai dalam jumlah besar. Permintaan kedelai di Aceh, terutama dari pengrajin tahu tempe, rata-rata per tahun meningkat sebesar 10% dan lebih dari 60% permintaan tersebut dipenuhi melalui mekanisme impor. Padahal tempe dan tahu yang dibuat menggunakan kedelai lokal diyakini masih lebih enak dibandingkan yang menggunakan kedelai impor, sehingga seharusnya peningkatan suplai kedelai lokal masih mampu diserap pasar dalam jumlah yang sangat besar. Pemerintah kabupaten akan menambah suplai kedelai lokal sebagai bahan baku tahu tempe melalui penambahan areal tanam kedelai sekaligus untuk mendukung swasembada kedelai dua tahun lagi.
Penambahan luas areal tanam memang menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan jumlah biji kering kedelai sebagai bahan baku dalam bisnis tahu dan tempe. Walau bagaimana, Aceh pernah memiliki luas tanam kedelai hingga 100 ribu hektar pada dekade 80-an yang lalu. Dari sudut pandang agribisnis, ketersediaan bahan baku adalah faktor kunci produksi. Ketersediaan tersebut harus dilengkapi dari sudut kuantitas, kualitas dan kontinuitas dalam jangka pendek maupun jangka panjang serta ditambah dengan aspek kesesuaian harga. Jadi meskipun bahan baku tersedia di pasar, apabila harga jual atau harga beli tidak berada pada posisi yang menguntungkan, produksi tetap tidak dapat dilanjutkan. Perlu diingat bahwa dalam konteks perdagangan global, harga komoditas tidak hanya ditentukan oleh permintaan dan suplai pada pasar lokal saja. Inilah yang penting untuk dipertimbangkan pemerintah kabupaten saat mengambil solusi penambahan luas areal tanam untuk kedelai. Hal ini jelas tampak dengan bergemingnya harga kedelai meskipun bea masuk telah digratiskan; harga kedelai tetap tinggi.
Jika maksud pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten adalah untuk membantu pengusaha pertanian maka penambahan luas areal tanam saja masih jauh dari cukup untuk menekan harga produksi. Penambahan luas areal tanam adalah intervensi di sektor hulu dan ini – maaf – adalah paradigma tradisional. Dukungan terhadap sektor agribisnis diukur dari adanya peningkatan nilai tambah hasil pertanian, kultivasi yang efektif dan efisien serta memperbaiki distribusi pendapatan penduduk. Meskipun langkah tersebut dapat menyediakan lapangan kerja, tetap saja memaksimalkan penggunaan sumber daya “tangan sendiri” (lahan yang luas dan tenaga kerja yang besar) bukan langkah yang bijak untuk mendongkrak agribisnis atau agroindustri. Langkah tradisional tersebut masih harus ditopang oleh subsidi yang terus menerus, proteksi yang kuat serta penentuan harga ideal. Sampai kapan subsidi akan disediakan oleh APBN dan bagaimana mengendalikan harga kedelai agar sama menguntungkan seperti jagung dan gabah? Bukankah ketika peran Bulog dipangkas 15 tahun lalu, harga kedelai langsung tak menguntungkan bagi petani dan juga pengusaha agribisnis?
Pemerintah Aceh jangan sampai hanya mengamini program yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. Sebagai daerah otonom, Aceh harus dapat menentukan bagaimana struktur ekonomi provinsi ini akan dibangun. Oleh karena itu, langkah memperluas areal tanam harus diikuti oleh langkah untuk membuat pengusaha agribisnis terbebas dari tekanan harga sekaligus terjamin ketersediaan suplai bahan baku. Bagaimana? Membebaskan diri dari tekanan harga dapat diterjemahkan dengan membentuk pasar domestik yang khusus dan tersegmentasi sedangkan menjamin suplai bahan baku dapat diterjemahkan dengan membentuk jaringan supply and demand.
Seperti disampaikan di atas, tahu dan tempe yang diproduksi menggunakan kedelai lokal memiliki cita rasa yang lebih enak. Selain itu, tahu dan tempe yang demikian, saat digoreng, tidak menyerap minyak goreng dan bertahan lebih lama sebelum menjadi lembek, sebagian malah tidak menjadi lembek. Saat pembeli berada di pasar, kebanyakan tidak tahu dan tidak bertanya yang mana tahu dan tempe yang menggunakan kedelai lokal dan mana yang menggunakan kedelai impor. Sehingga pembeli cenderung memilih berdasarkan harga saja. Pemerintah dapat bertindak dengan mengatur agar tahu dan tempe yang diproduksi dengan kedelai lokal atau kedelai impor diberi label tertentu. Jika segmen pasar ini terbentuk, maka harga komoditas tahu dan tempe juga ikut terbentuk.
Selain itu, pasar untuk penjualan kedelai lokal diatur agar terbentuk kerjasama antara petani kedelai dengan pengrajin tahu tempe. Kesepakatan antara kedua pelaku sektor hulu ini harus saling menguntungkan sekaligus memproteksi petani dari persaingan dengan kedelai impor yang permintaannya cenderung lebih tinggi. Kesepakatan tersebut juga membantu pengrajin untuk senantiasa memiliki ketersediaan bahan baku sesuai dengan kebutuhannya mengingat sebagian petani tidak menunggu sampai kedelai cukup tua sebelum dipanen; mereka menjualnya sebagai kedelai rebus.
Membentuk jaringan juga berarti meningkatkan kualitas biji kering kedelai. Dengan membiarkan petani dan pengrajin mengetahui kantong-kantong produksi kedelai berkualitas prima dan memberikan kesempatan jual-beli dalam skala provinsi sekali dalam tiga bulan pada pasar khusus, maka kualitas tahu dan tempe akan semakin tinggi dan keunggulan komparatif petani akan terbentuk.
Jika pasar dan jaringan telah terbentuk dengan baik, pemerintah Aceh dapat meminta pemerintah pusat mengatur agar bea masuk kedelai impor ke Aceh tidak lagi gratis. Sudah seharusnya, kebijakan dan strategi pengembangan agribisnis pemerintah Aceh lebih menampilkan konteks otonomi khusus yang dimilikinya. Bukankah tujuan pembangunan semestinya untuk menyejahterakan rakyat?
Tentu saja, jika tujuan pemerintah Aceh dengan pemenuhan permintaan komoditas kedelai di tingkat domestik bukan untuk membantu pengusaha agribisnis, tinjauannya menjadi berbeda. Begitupun, sekedar mengamini kehendak pemerintah pusat tanpa mempertimbangkan kesejahteraan petani di Aceh tidak pantas dipilih oleh pemerintah Aceh. Penting diingat bahwa jenis tanah dan keadaan iklim merupakan dua komponen lingkungan tumbuh yang sangat berpengaruh pada produksi tanaman kedelai. Produksi kedelai tidak bisa optimal bila hanya ada salah satu komponen saja yang optimal. Maksudnya, produksi kedelai lokal tidak semata-mata meningkat setelah areal tanam diperluas.