Follow Us
Beranda / Kolom / Pelajaran dari krisis kedelai, akhirnya Indonesia mau belajar

Pelajaran dari krisis kedelai, akhirnya Indonesia mau belajar

Reporter: WIN WAN NUR
  | Kamis, 16 Agustus 2012 14:02 WIB

WIN WAN NURFOTO : Dok PribadiWIN WAN NUR

Selasa 14 agustus 2012, di rubrik Ekonomi, Media Indonesia menurunkan berita dengan judul "Basis Produksi di Luar Negeri Alternatif Perkuat Pangan" yang merupakan respon pemerintah atas krisis kedelai yang membuat tahu dan tempe menjadi makanan mahal. Artikel ini sangat menarik karena kali ini pemerintah benar-benar menawarkan solusi, bukan hanya wacana-wacana kosong yang terlihat gegap gempita tetapi pelaksanaannya sulit diterima akal.

Selama ini kita sering membaca dan mendengar kritik terhadap pemerintah yang dianggap tidak becus dalam mengelola kebijakan pangan.

Hampir semua kritik tersebut menyasar ketidak mampuan pemerintah untuk membuat Indonesia mampu berswasembada pangan. Padahal (menurut para pengkritik) Indonesia memiliki segala potensi untuk mampu memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bergantung pada negara lain.

Argumen yang sering kita dengar seperti " Kita punya lahan pertanian yang luas, kita konsumen tempe dan tahu terbesar tapi kedele saja harus impor", yang lain "Kita punya padang rumput yang luas, tapi kenapa daging sapi saja harus impor?" dan yang paling sering terdengar beberapa waktu yang lalu " Kita memiliki garis pantai terpanjang di dunia dan matahari bersinar sepanjang tahun, tapi garam saja harus impor".

Sekilas kita baca, argumen-argumen di atas sangat benar dan nyaris tidak ada celah salahnya. Sehingga tampaknya pemerintahpun tidak banyak bereaksi terhadap kritik-kritik seperti ini.

Tapi kalau argumen-argumen itu kita telaah secara lebih kritis akan banyak terlihat kelemahan.

Sebab potensi planet bumi ini memang tidak seragam. Perbedaan potensi ini menciptakan perbedaan nilai barang antara satu tempat dengan tempat lain, dan perbedaan nilai itulah yang menciptakan aktivitas yang disebut BERDAGANG. Satu manusia dengan manusia lain, satu daerah dengan daerah lain, dan satu negara dengan negara lain, saling mengisi, membuang kelebihan dan mengisi kekurangan.

Karena perbedaan potensi itulah di abad modern ini, tidak ada satupun negara di dunia dalam era modern ini yang mampu berswasembada atas segala kebutuhannya. Negara-negara di abad modern ini harus berdagang untuk saling memenuhi kebutuhan. Sebab kadang komoditas yang sama sekali tidak berharga di suatu tempat ternyata sangat bernilai dan berharga mahal di tempat lain.

Contoh di tahun 1980-an, karena cocok tumbuh di daerah dengan hawa dingin, di Gayo, Alpukat melimpah ruah, dan tidak terlalu disukai. Sementara di Banda Aceh dan Medan, Alpukat adalah buah elit yang disukai banyak orang. Tapi karena tata niaga Alpukat tidak terbentuk, buah yang disukai orang dan berharga mahal di Banda Aceh dan Medan ini menjadi buah yang nyaris tidak ada harganya di Gayo. Di Gayo orang biasanya hanya menggunakan Alpukat untuk memeram pisang agar cepat matang, bahkan saking tidak berharganya di Gayo Alpukat sering diberikan kepada anjing, sehingga buah ini pun sempat identik sebagai makanan anjing. Baru ketika ada orang yang mulai membawa Alpukat dari Gayo ke Banda Aceh dan Medan untuk dijual, buah ini menjadi berharga dan ketika jejak sang pionir ini diikuti banyak orang, sekarang harga Alpukat di Gayo nyaris tak ada bedanya dengan di Banda Aceh.

Apa yang terjadi dengan penjajahan dan kolonialiasi Indonesia di masa lalu, sebenarnya adalah prinsip yang sama dengan kasus Alpukat di atas. Pada masa itu, di Indonesia ada bayak sekali rempah-rempah yang nyaris tak ada harganya. Sementara di Eropa, rempah-rempah adalah komoditas yang sangat berharga. Karena itulah orang eropa mau menempuh badai berlayar sampai ke sini untuk bisa membawa rempah-rempah secara massal. Sebaliknya, barang-barang dari Eropa berharga sangat mahal di sini, sehingga perdagangan antar benua ini benar-benar menguntungkan. Inilah yang mendasari terhadinya kolonialisasi yang dengan segala dinamikanya, sehingga terbentuklah dunia seperti sekarang.

Tapi dengan tidak membahas lebih jauh tentang kolonialisasi, pada prinsipnya, dengan perdagangan lah manusia bisa saling memenuhi kebutuhan, termasuk pangan. Perbedaan nilai dan ketersediaan barang, inilah sebenarnya yang membuat kita mengimpor kedelai, daging sapi dan juga garam. Meskipun kalau kita paksakan sebenarnya kita bisa memproduksinya sendiri.

Contoh, kita mulai dari soal kedelai, memang benar Indonesia memiliki banyak lahan untuk ditanami kedelai. Tapi kita juga tahu, lahan untuk menanami kedelai itu adalah lahan yang tanaman utamanya adalah padi, kedelai hanya ditanam sebagai selingan. Kalau kedelai diprioritaskan, otomatis produksi padi akan berkurang. Cara lain karena kita setiap tahunnya produksi kita berlebih, kita bisa membabati kebun sawit, karet dan kopi untuk diganti dengan tanaman kedelai. Tapi apakah itu logis, bukannya jauh lebih menguntungkan kalau kita menanam kelapa sawit, karet dan kopi untuk dijual dengan harga mahal dan uangnya digunakan untuk membeli kedelai?

Soal sapi juga demikian, kalau kita belum menghitung dengan benar, memang seolah kita memiliki lahan yang luas untuk berternak sapi, tapi setelah dihitung, bahkan Dahlan Iskan pun mengakui kalau lahan penggembalaan sama sekali tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di negeri ini. Garam, benar kalau diusahakan besar-besaran, kita akan bisa berswasembada garam. Tapi apa tidak sayang lahan yang seharusnya bisa digunakan untuk memproduksi komoditas yang lebih mahal, sebut saja seperti udah, kepiting atau apapun yang lebih bernilai dibanding garam, digunakan untuk memproduksi garam?. Sementara di tempat lain, garam dengan mudah ditambang dengan jumlah yang tidak akan habis sampai ribuan tahun dan bisa dibeli dengan harga sangat murah?

Memang, sangat riskan kalau kita hanya bergantung pada satu negara untuk memenuhi kebutuhan pokok kita. Tapi tidak berarti pula kita harus memproduksi sendiri semua kebutuhan kita. Sebagai solusi kita bisa membangun industri pangan kita di luar negeri, karena akan sangat konyol kalau pemerintah ngotot untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri dengan mengorbankan komoditas unggulan. Biarlah kita memperkuat komoditas unggulan kita di dalam negeri. Sebab saya dan semua petani kopi di Gayo dan semua pemilik lahan pertanian yang nilai komoditasnya lebih berharga dibanding kedelai, pasti tidak akan mau menghabisi tanaman lamanya untuk diubah menjadi lahan produksi kedelai.

Cara seperti ini bukan hanya dilakukan oleh Indonesia, banyak negara lain yang telah lebih dahulu memulai.

Cina yang sekarang getol mengembangkan Industri, sadar sepenuhnya lahan di negara mereka tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan lebih dari 1 milyar warganya. Cina terpaksa harus mengimpor, tapi menariknya Cina mengimpor bahan pangan itu dari perusahaan mereka sendiri di luar negeri. Saat ini Cina begitu gencar membangun industri pertanian di luar negeri. Mereka membeli tanah pertanian dimana-mana, mulai dari negara-negara tertinggal di Afrika sampai ke negara maju seperti Kanada.

Malaysia, Turki, Iran dan negara-negara yang tidak memiliki padang rumput yang luas tapi mengkonsumsi banyak daging sapi, membangun industri daging sapinya di Australia. Bahkan Arab Saudi yang identik dengan hewan Onta pun sekarang tidak lagi 'memproduksi' Onta di negara mereka sendiri. Mereka adalah importir onta terbesar di dunia, mereka mengimpor ontanya dari Australia dan Sudan.

Jadi kita patut bersyukur pemerintah Indonesia akhirnya mau belajar dan mengambil sikap yang benar dalam hal kebijakan pangan. Kali ini pemerintah benar-benar mengedepankan solusi dalam kebijakan pangan, tidak tenggelam dalam hingar-bingar nasionalisme sempit yang tidak masuk akal.


Komentar Anda