Follow Us
Beranda / Kolom / Perdagangan Aceh tertua di Indonesia

Perdagangan Aceh tertua di Indonesia

Reporter: SAIFUDDIN ~ FUTURE TRADING COUNSULTANT
  | Kamis, 06 September 2012 18:38 WIB

 

FOTO : Dok Pribadi

Kalau kita melihat kembali kesejarah perdagangan di Indonesia dari waktu kewaktu, maka dapat disimpulkan bahwa perdagangan international seantero nusantara dimulai sejak abad ke 16 dan itu dirintis untuk pertama kalinya oleh pedagang-pedagang dari kerajaan Aceh Darussalam, setelah itu dilanjutkan oleh pedagang dari ranah minang (abad ke 18-19) dan kemudian disusul oleh pedagang-pedagang dari suku bugis (abad ke 18). Perdagangan ketiga suku ini juga tidak terlepas interaksi dengan pedagang Aceh yang pada saat itu sudah menguasai dunia perdangan internasional. Tapi kondisi saat ini sangat bertolak belakang, dimana pedagang minang dan bugis masih menguasai dunia perdagangan nasional dan internasional sementara pedangan Aceh sudah tidak berkiprah lagi di kancah perdangan strategis, apalagi untuk menguasai perdangan dunia.

Sejarah Perdangan Aceh

Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeni. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.

Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan disana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana.Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah Malaka bisa dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).

Abad ke 16 Aceh dibawah kepemimpinan Ala’addin Ri’ayat Syah Al Kahar dibangun menjadi negara yang kukuh dan menguasai perdagangan antara Aceh dan Laut Merah. Bahkan ditahun 1567 Aceh menjalin aliansi dengan Turki. Jalur perdagangan Aceh dan Laut merah serta Malaka kala itu adalah jalur yang sibuk dengan ekspor impor. Dengan hebatnya tata niaga perdagangan waktu itu melahirkan kalangan orang kaya di negara Aceh. Mereka kemudian masuk ke dalam sistem kenegaraan. Mereka bercirikan membiarkan kuku ibu jari dan kelingking menjadi panjang, suatu tanda bahwa mereka tak pernah melakukan pekerjaan tangan. Mereka hidup dalam kemewahan dirumah-rumah besar yang didepan pintunya dipasang meriam. Mereka memelihara sejumlah besar pelayan dan penjaga.

Hegemoni orang kaya berlatar belakang pedagang  ini di Aceh semakin hari semakin kuat. Mereka dapat mengatur kekuasaan. Seorang Sultan yang tak mereka sukai bisa mereka lenyapkan dengan membunuhnya secara halus. Waktu itu bila ada Sultan yang berkuasa hingga dua tahun termasuk hal yang luar biasa. Seorang sultan waktu itu tidak punya wewenang mutlak. Orang-orang kebanyakan bisa mendapatkan alternatif lain untuk memperoleh perlindungan.Kekuasaan besar orang kaya ini dibidang ekonomi dan pemrintahan tidak berhasil menstabilkan jalannya pemerintahan. Aveh berguncang terus.

Pada tahun 1589 Raja Baru bernama Al Mukammil membasmi para orangkaya ini. Alasan Raja baru ini adalah dia tidak mau rakyat menderita karena pertikaian yang terus menerus dikalangan atas. Aceh kembali stabil, perlindungan mutlak seorang raja tampil dominan di Aceh. Tahun 1607 dibawah kepemimpinan Iskandar Muda Aceh semakin berjaya. Ia menaklukkan Sumatera Timur, tanah melayu hingga Melaka  guna menguasai hasil bumi untuk ekspor.

Pedagang asing yang ingin berdagang harus berurusan dulu dengannya. Dia mendesak pedagang asing itu untuk membeli lada dan rempah-rempah lainnya milik negara dengan harga tinggi. Aceh tampil sebagai negara yang kuat dengan tata pemerintahan yang rapi. Dia dijuluki sebagai penguasa yang agung.  Akibat monopoli negara ini saudagar-saudagar Aceh semakin sulit hidupnya bahkan dibandingkan dengan pedagang yang datang dari luar seperti dari India, Arab dan Cina.

Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena orang Aceh mengira bahwa Belanda tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De Houteman serta menawan Frederick De Houteman.Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald De Roy dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Aceh. Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan kerjasama itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.

Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah menelan jutaan nyawa.

Kekuasaan dan kecermelangan Aceh ternyata berhenti hingga Iskandar Muda. Dia tidak menyiapkan penggantinya. Ini mungkin saja dilatarbelakangi keinginan untuk menjadi penguasa mutlak di Aceh. Dia terlupa bahwa tidak ada kekuasaan yang kekal dan abadi. Aceh kemudian lambat laun sirna dari percaturan perdagangan dunia, hingga Belanda akhirnya berhasil menguasai Aceh sepenuhnya.

 

Sejarah Perdangangan Bugis

Sejarah percaturan politik berbagai suku di Asia Tenggara khususnya abad ke-18 orang  Bugis rantau digambarkan   sebagai  “the ruling  class “  dalam mengatur  perompakan di Selat  Malaka dan Maluku yang tujuannya meguasai perdagangan timah dan rempah-rempah. Tidak sekedar itu saja, orang Bugis rantau dapat mengontrol jalannya  kesinambungan kekuasaan di  Semenanjung Melayu, terutama di Kesultanan Johor. Predikat tersebut membuat ikon orang Bugis dikenal sebagai pemimpin yang pintar, berani, tegas dan jujur (maccai nawarani magettengngi na malempu). Dalam hikayat  masuknya Bugis di tanah Johor hanya disebutkan dalam  angka tahun 1134 Hijriah atau 1721-22 pada tahun tersebut raja Sulaiman dianggap sebagai penguasa oleh Kelana (Daeng Marewah) dan Daeng Menampuk serta orang-orang Bugis. Ketika Sultan Sulaiman  Bader Alamsyah menjadi penguasa, Daeng  Menampuk disamping raja tua dengan gelar Sultan Ibrahim dan Kelana Jaya Putra, yang menyandang nama Daeng Marewah, diberi gelar Sultan Aldin Syah Raja Muda”. Peringatan jelas menunjukan bahwa ada dua pimpinan Bugis; Kelana Jaya putra (Daeng Marewah) dan Daeng Menampuk.

 

Sejarah Perdangangan Minang

Orang Minangkabau dari Siak menaklukkan Johor pada tahun 1718 yang dipimpin oleh seorang pangeran kharismatik raja kecil dari  Sultan Mahmud . Setelah keberhasilan penyerangan itu, dia menggantikan ayahnya dan menempatkan sang perampas tahta pada posisi sebelum tahun 1699 sebagai Bendahara kemudian dia menyuruh Bendahara itu dibunuh. Putra Bendahara yakni Raja Sulaiman karena itu meminta bantuan dari kelompok orang Bugis yang tinggal di daerah Linggi dan Selangor.  Pada tahun 1721 orang-orang Bugis berhasil mengusir raja kecil dan sekutu Minangkabaunya, mengangkat Sulaiman sebagai Sultan dan sebaliknya menganugerahi jasa-jasanya dengan posisi tinggi atas jasa-jasanya, yakni Yang Dipertuan Termuda (raja yang berkuasa) sebagai yang paling penting.

Pada tahun  1722, perkembangan di Riau bisa dikatakan hampir dikuasai pengaruh  Bugis .Setelah tahun 1750, ketegangan di Riau disebabkan oleh peningkatan secara pesat kekuatan Bugis yang mengakibatkan perang saudara. Meskipun kelompok Melayu bertekad mengambil langkah untuk membuat peserkutuan VOC, kebangkitan kekuatan Bugis tidak bisa dihentikan. Bugis jelas memenangkan perang (melawan Belanda dan Melayu) dan setelah tahun 1760 kekuasaan Bugis semakin sulit di bendung.

Hubungan Perdangan Aceh-Minang dan Bugis

Berbicara tentang hubungan antara Aceh dengan Bugis tidak lepas dari membicarakan jalur perdagangan di Nusantara pada awal abad 16. Sejak zaman kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dan negeri Cina memerlukan pelabuhan tempat persinggahan untuk tempat mengambil bekal dan menumpuk barang. Selama beberapa abad fungsi emporium tersebut dijalankan oleh kerajaan Sriwijaya. Merosotnya kerajaan Sriwijaya pada akhir abad XIII menyebabkan fungsi itu terpencar ke beberapa daerah di Nusantara antara lain di Pidie dan Samudera Pasai. Namun, pada abad 16 Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling ramai hingga Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1611. Hal ini berdampak kemunduran sedikit demi sedikit pada pusat perdagangan. Kemunduran Malaka memunculkan Aceh sebagai pusat perdagangan yang disinggahi oleh para pedagang muslim yang tidak mau berhubungan dengan Portugis.Penyelenggaraan perkapalan dan perdagangan di kota-kota pelabuhan menimbulkan jalur komunikasi terbuka, sehingga terjadi mobilitas sosial baik horizontal maupun vertikal, serta perubahan gaya hidup dan nilai-nilai. Penyebaran agama Islam yang dibawa oleh kaum pedagang, perkawinan antar suku tidak terlepas dari adanya jalur perdagangan internasional pada masa lalu.

Dalam catatan sejarah, masyarakat turunan Bugis yang ada di Aceh tidak terlepas dari sejarah Sultan Iskandar Muda. Awal dari sultan Aceh berdarah Bugis dimulai dengan pernikahan Iskandar Muda dengan Putroë Suni anak Daeng Mansyur (menantu Teungku Chik Di Reubee). Putroë Suni ketika dewasa dipersunting oleh Sultan Iskandar Muda sedangkan Zainal Abidin hijrah ke Aceh Besar selanjutnya terkenal dengan nama Teungku di Lhong dan ia mempunyai putra bernama Abdurrahim Maharajalela.

Sejak kemunculan Kerajaan Sriwijaya dan dilanjutkan dengan Kesultanan Malaka, banyak pedagang Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Peranan pedagang Minangkabau mulai menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh Kesultanan Aceh, kemudian oleh Belanda. Dibukanya Penang dan Singapura di Selat Malaka, menggairahkan kembali perdagangan antara Minangkabau dengan dunia luar. Dari perdagangan komoditi dengan kota-kota tersebut, banyak desa-desa di Dataran Tinggi Minangkabau yang mendadak kaya raya. Disamping menjadi pedagang perantara, pedagang Minang juga banyak yang menjadi pedagang lintas selat. Dimana peran ini banyak dimainkan oleh pengusaha Minang yang bermukim di Batubara. Dengan kapal-kapal mereka, pedagang ini mengangkut aneka komoditi yang datang dari pedalaman untuk dijual di pasaran Singapura. Selain berdagang di Selat Malaka, para pebisnis lintas selat ini juga beroperasi di pantai barat Sumatera, Kepulauan Karimata, Selat Sunda, Laut Jawa, Laut Sulu, hingga Kepulauan Maluku. Nakhoda Mangkuto, yang kemudian dilanjutkan oleh putranya Nakhoda Muda, merupakan beberapa pedagang lintas selat yang sukses berdagang komoditi.

 

Kontribusi Tiga Suku untuk Kuantitas Enterprenership di Indonesia

Bila melaihat pada masa awal kemerdekaan Indonesia tampak bahawa perusahaan perdagangan dalam negeri baik export maupun impor dirintis san didomisili oleh pengusaha Aceh dan pengusaha Cina. Bahkan sekitar 85% berbagai jenis kegiatan perdagangan tersebut berada ditangan pengusaha Aceh, sementara pengusaha cina pada saat itu hanya terbatas pada pedagang eceran saja (Irhami, 1988). Tersebutlah pada saat itu Teuku Markam (penyumbang Emas Murni untuk Tugu Monas) dan gerombolannya yang rata-rata orang Aceh menguasai berbagai sektor bisnis strategis di Indonesia. Situasi menguasai perdagangan nasional dan internasional tersebut terjadi sampai dengan akhir tahun 60-an, dan sejak tahun 70-ah sampai dengan sekarang pengusaha Cina tumbuh semakin pesat dan pengusaha Aceh kurang memaikan peranannya kembali (Sulaiman, 1988).

Menurut Sosiolog David McClelland berpendapat,”Suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur (pengusaha) sedikitnya 2% dari jumlah penduduknya”. Sedangkan Indonesia hanya  memiliki 0,18% enterprener dari jumlah penduduknya atau 400.000-an orang saja yang menjadi pengusaha. Sehingga angka ini masih jauh dari angka kemakmuran. Dari beberapa catatan tentang jumlah enterprener yang memegang peranan penting di Indonesia (0,18%) tersebut, Selain didominasi oleh penguasaha Cina, saat juga masih terdapat beberapa dominasi oleh pengusaha pribumi terutama yang berasal dari suku minang dan suku bugis, tapi sayangnya pengusaha asal Aceh dan berdarah Aceh sudah tidak diperhitungkan lagi dalam kancah perdagangan nasional maupun internasional.

 

Indonesia Menuju Era Kemakmuran

Jumlah wirausahawan di Indonesia melonjak tajam dari 0,18% (data tahun 2004) menjadi 0,24% (tahun 2008) dan sekarang menjadi 1,56% dari jumlah penduduk. Kemenkop optimistis tahun 2014 pertumbuhan wirausaha ke titik ideal minimal 2% dapat tercapai.

 "Awalnya data yang kita miliki hanya 0,18% pengusaha yang ada lalu tiga tahun lalu kita dapat angka 0,24% dan terakhir Januari  2012 jumlahnya  sudah menjadi 1,56% penduduk Indonesia menjadi wirausaha," kataAgus Muharram,  Deputi Menkop dan UKM bidang Pengembangan SDM,  Kemenkop & UKM, Sabtu 3 Maret 2012.

 "Satu tahun meluncurkan Gerakan Wirausaha Nasional Febuari 2011 lalu oleh Presiden SBY, data Badan Pusat Statistik (BPS) nasional mengungkapkan di Indonesia kini ada 55, 53 juta UMKM dan 54 juta lebih diantaranya adalah usaha mikro," tambah Agus.Pertumbuhan 1,56% itu hasil hitungan Deputy Bidang Pengkajian Kemenkop & UKM berdasarkan data dan kriteria yang ditetapkan oleh BPS sebagai lembaga pemerintah yang di percaya dan kompeten.

Itulah sebabnya dia optimistis pada 2014 jumlah pengusaha pencipta lapangan kerja akan mencapai lebih dari 2%. Padahal sebelumnya di perkirakan butuh 25 tahun untuk mendapatkan 2% pengusaha dari jumlah penduduk atau sekitar 4 juta pengusaha karena RI baru memiliki 400.000 wirausaha.

 "Jumlah pegawai negeri kita hanya 4 juta orang sehingga pencapaian pertumbuhan yang ada sekarang faktanya memang merupakan kontribusi dari masyarakat dan kalangan swasta," jelasnya.Agus Muharram optimistis usaha mencapai tingkat ideal minimal 2% pengusaha itu cepat tercapai jika masalah-masalah dalam pengembangan entrepreneurship di tanah air cepat teratasi.Seperti di ketahui bahwa  Indonesia tertinggal jauh dari negara Asia lainnya seperti China dan Jepang dengan jumlah wirausahawan 10% dari total populasi, Malaysia 5%, dan Singapura 7%. Terlebih lagi di Amerika, lebih dari 12% penduduknya menjadi entrepreneur.

Jika pernyataan Agus Muharam tersebut berangkat dari data yang valid, maka sebenarnya pada era sekarang ini negara Indonesia sedang menuju era kemakmuran, karena menurut Sosiolog David McClelland”Suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur (pengusaha) sedikitnya 2% dari jumlah penduduknya”. Semoga data tersebut benar dan kita bangga bahwa negara Indoensia akan segera bangkit dan menuju kemakmuran.

Tapi selaku orang yang berdarah Aceh dan dilahirkan di Aceh, saya menjadi sangat sedih, apakah tidak mengalir sedikitpun darah-darah pengusaha Aceh jaman perjuangan kepada generasi Aceh saat ini? Jika Ada mari bangkit bersama, setidaknya Aceh harus mencata bahwa jumlah enterprener minimal 1,56% (angka rata-rata nasional) dan bahkan harus lebih besar, mengingat bahwa potensi dana tidur , sumber daya terpelajar yang tidur dan lahan tertidur masih sangat besar di bumi Iskandar Muda dibandingkan dengan propinsi yang lain terutama di Jawa dan bagian sumatera yang lainnya. Siapa yang mau bangun??.

 


Komentar Anda