Follow Us
Beranda / Kolom / Pilpres langsung butuh figur kuat

Pilpres langsung butuh figur kuat

Reporter: Andi Arief
  | Senin, 09 Juni 2014 05:32 WIB

IlustrasiFoto : istimewaIlustrasi

PEMILIHAN presiden secara langsung untuk kali ketiga tanggal 9 Juli nanti jauh dari prediksi pengamat politik dan lembaga survei. Pilpres 2004 diikuti lima pasang capres-cawapres, dan Pilpres 2009 diikuti tiga pasang capres-cawapres.

Sementara Pilpres 2014 hanya menghasilkan dua pasang capres-cawapres.

Tahun 2004 incumbent, Megawati Soekarnoputri, kalah. Sementara Golkar yang menang dalam Pemilu 2004 tak masuk putaran kedua pilpres. Pemenang Pilpres 2004 adalah capres yang diusung partai baru Demokrat yang hanya punya modal suara 7 persen hasil Pemilu 2004.

Pilpres 2009 dimenangkan Partai Demokrat yang perolehan suaranya dalam Pemilu 2009 melonjak 200 persen dibanding Pemilu 2004. SBY menang tebal dengan rekor suara pemilih terbesar di dunia sepanjang pilpres langsung dilaksanakan.

Dalam Pilpres 2014, capres yang diusung pemenang pemilu, PDI Perjuangan, berhadapan dengan capres yang diusung partai baru Gerindra yang kenaikan suara dalam Pemilu 2014 sebesar 200 persen dibanding Pemilu 2009.

Partai Demokrat yang lima tahun sebelumnya menang dalam Pemilu 2014 harus puas berada di posisi keempat. Menjelang Pilpres 2014 Partai Demokrat memutuskan tidak ikut dalam koalisi manapun. Selain itu, ternyata tidak ada figur dari internal Demokrat yang dinilai bisa bertarung dalam Pilpres 2014. Padahal, sekitar 60 persen rakyat nasih mempercayai pemerintahan SBY.

Partai Golkar dipastikan akan bernasib seperti partai konservatif diktator Jendral Pinochet di Chile. Dalam tiga kali pilpres langsung partai ini tak berhasil meyakinkan rakyat untuk memilih capres yang mereka dukung. Bahkan, dalam Pemilu 2014 ini Golkar hanya menjadi perserta koalisi.

PDIP juga punya potensi bernasib sama dengan Golkar, atau dengan partai konsevatif di Chile.

Adapun SBY kira-kira bisa bernasib sama seperti Veronica Michelle Bachelet Jeria yang berkuasa di Chile antara 2006 hingga 2010.

Kekuasaan lepas dari tangan Bachelet karena koalisi Concentratio (kiri-tengah) dikalahkan koalisi perubahan yang mengusung Sebastian Pinera. Padahal di masa-masa itu pun popularitas Bachelet berada pada kisaran 60 persen.

Pinera yang menggantikan Bachelet adalah seorang doktor ekonomi dari Universitas Harvard. Dia sebelumnya juga dikenal sebagai investor, pebisnis, politisi, dan mantan senator.

Pilpres 2010 bukan pertarungan pertama Bachelet dan Pinera. Mereka sudah pernah bertemu di arena Pilpres 2006. Kala itu Pinera dikalahkan Bachelet yang sedang populer karena dikenal salah satu tokoh wanita Chile dan pernah dua kali menjadi menteri.

Di arena Pemilu 2014 yang merupakan pertarungan ketiga mereka Bachelet kembali mengalahkan Pinera. Koalisi partai kiri-tengah-plus pun kembali berkuasa.

Dari kasus Chile ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan presiden secara langsung memerlukan figur yang kuat, berpengalaman, memiliki catatan karier politik yang teratur, terampil, cerdas, disukai rakyat dan ditopang parlemen yang stabil.

Trend di Amerika Latin terutama Brazil, Venezuela, Peru dan Chile, memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah dapat disebut berhasil apabila memberikan perlindungan sosial bagi kluster masyarakat miskin, mendekati miskin dan sangat miskin.

Karena itulah dengan jelas dan terang saat kampanye, dalam Pilpres 2010 Pinera yang juga pemilik televisi dan klub sepakbola di Chile berjanji untuk melanjutkan program perlindungan sosial pemerintahan Bachelet betapapun mereka berasal dari partai yang berbeda.

Di Indonesia, kedua pasang capres-cawapres juga melakukan hal yang sama seperti Pinera di tahun 2010. Duet Prabowo dan Hatta Rajasa dalam pertemuan dengan Partai Demokrat secara umum mengatakan akan melanjutkan program pembangunan SBY.

Pasangan Jokowi-JK meski secara malu-malu namun terlihat cenderung untuk melanjutkan program perlindungan sosial pemerintahan SBY.

Kedua pasangan ini juga berjanji mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi seperti yang dilakukan dalam 10 tahun belakangan ini. Tidak ada yang signifikan kecuali yang disampaikan pasangan Prabowo-Hatta berkaitan dengan rencana membentuk Bank Tani dan mencetak dua juta lahan baru pertanian.

Sementara Jokowi-JK menjanjikan Tri Sakti Sukarno yang sampai hari ini tak bisa dijelaskan secara detail.

Bila untuk soal perlindungan sosial ada kemiripan antara capres-cawapres Indonesia dengan capres-cawapres di Amerika Latin, maka untuk kurusan korupsi dan abuse of power Indonesia punya kemiripan dengan negara tetangga Filipina.

Presiden ketiga Filipina, Estrada, dan presiden ke-3,5 dan ke-4 Filipina Arroyo terlibat dalam korupsi dan membawa Filipina termasuk dalam daftar negara terburuk di Asia dan Asia Tenggara.

Dengan sistem politik berbeda kakak beradik Thaksin dan Yinluck juga menghadapi hal serupa.

Kita sedang diharapkan pada pilihan Duet Pengusaha (Jokowi-JK) dan Duet Ketua Partai (Prabowo-Hatta).

Jokowi-JK dunianya adalah bisnis, sementara Prabowo-Hatta bukan pengusaha tetapi dekat dengan lingkungan bisnis.

PDIP dalam catatan KPK termasuk partai terkorup. Namun meski Gerindra dan PAN tidak tergolong partai terkorup, bukan berarti akan terbebas dari korupsi nantinya.

JK adalah pengusaha tulen yang bisa menjadi capres/cawapres lewat tiga partai berbeda dan selama ini ketiga partai itu penuh persaingan. Selain JK dua tokoh berlatar militer di kubu itu adalah Luhut Panjaitan dan AM Hendropriyono. Keduanya juga dikenal sebagai pengusaha.

Sementara di kubu Prabowo ada pengusaha Hashim Djoyohadikusumo yang ikut mem-backup Prabowo yang kebetulan adalah kakaknya.

 

Penulis : Andi Arief, Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana | Suber : rmol


Komentar Anda